Women Escape to Lake Toba

Wisata bersama kami bisa dibilang seperti kabur sejenak dari rutinitas sehari-hari sebagai jurnalis dan ibu. WOMEN ESCAPE, saya menyebutnya demikian. Tujuan wisata Danau Toba, tepatnya Pulau Samosir menjadi tempat kami kabur selama plesiran dua hari satu malam itu. Sanggam Beach Hotel menjadi tempat menginap kami, beristirahat dan menghabiskan malam mingguan yang hangat dengan kebersamaan.

SELOP LIFE

Diana Srimilana Saragih

5/31/20258 min read

Wisata bersama teman-teman memang menyenangkan. Apalagi mayoritas adalah perempuan dan jarang-jarang bisa liburan tanpa bawa keluarga. Saya menyebutnya Women Escape. Ibarat kabur dari realita sehari-hari, rombongan perempuan ceria yang berprofesi sebagai jurnalis ini pun sungguh menjalankan rencananya dengan baik-baik. Setiap waktu berharga karena bakal jarang-jarang bisa ngumpul seperti ini lagi mengingat jarak dan waktu.

Kami ingin memanfaatkan waktu yang terbatas untuk menikmati perjalanan wisata bersama ke Danau Toba, Sumatera Utara. Tepatnya ke Pulau Samosir yang menyediakan wisata alam, sejarah dan budaya, serta wisata belanja oleh-oleh yang khas. Tiga dari 10 perempuan dalam rombongan perjalanan kami adalah pendatang dari jauh. Mereka berasal dari Kota Samarinda, Surabaya, dan Sorong, mewakili tiga pembagian waktu Indonesia, WIB – WITA - WIT. Jadilah kami memutuskan untuk jalan subuh naik mobil van Hiace ke Danau Toba supaya bisa menikmati beberapa spot wisata yang masuk daftar untuk dikunjungi dalam wisata 2D1N (dua hari satu malam) kami. Maklum, plesiran bareng ini hanya rencana dadakan di rangkaian perjalanan dinas kawan-kawan di Medan.

Setelah 4 jam perjalanan Medan - Parapat via tol, kami tiba di Pelabuhan Ajibata, Parapat, Kabupaten Simalungun, pukul 8 pagi. Sempat agak horor karena kami belum membeli tiket menyeberang dengan ferry yang seyogianya berangkat pukul 8.45 WIB. Nah, tiket itu ternyata hanya bisa dibeli secara online. Kami pun wajib daftar akun email terlebih dahulu sebelum bisa transaksi ke website-nya untuk membeli tiket. Hal-hal ini tidak kami antisipasi sejak awal karena semua anggota rombongan biasanya jadi wisatawan yang terima beres kalau pergi jalan-jalan. Begitu juga dua supir bus yang ikut. Syukurnya ketersendatan itu berakhir beres, kurang dari 20 menit kemudian. Mobil kami masuk kapal dan menyeberang sebelum pukul 9 pagi.

Kapal pagi itu tidak begitu padat penumpang. Mungkin karena masih pagi ya. Di dalam kapal, kami mendapatkan spot tempat duduk sofa melingkar yang bisa mengakomodir kami duduk bersama dan bersantap bekal yang sudah kami bawa dari Medan. Nasi putih dengan ikan teri sambal, kerupuk, dan ada juga rujak buah yang dibeli di pelabuhan.

Perjalanan dari pelabuhan Ajibata ke pelabuhan Ambarita memakan waktu tidak sampai sejam. Selesai bersantap dan ngobrol, kami tentu saja wajib bikin konten video kebersamaan untuk mengabadikan traveling kami hari itu. Tidak ada rasa canggung sama sekali. Semuanya tertawa lepas dan mengekspresikan diri dengan apa adanya. Perut kenyang, hati senang, pemandangan juga bikin riang. Hari itu cerah, danau terlihat jelas di bawah langit biru. Cantik.

Setiba di pelabuhan Ambarita, Pulau Samosir, kami langsung cus ke hotel yang direkomendasikan oleh teman kami di Medan. Namanya Sanggam Beach Hotel. Letaknya sekira 10 menit perjalanan bus dari pelabuhan Ambarita. Rasa ngantuk yang mulai turun di pelupuk mata sekonyong-konyong buyar begitu kami tiba di sana. Hotelnya memiliki halaman berumput hijau yang luas sekali. Kalau guling-guling di sini, bakalan capek, pikirku begitu.

Ada beberapa bangunan utama di dalam komplek hotel. Bangunan pertama berisi kamar hotel di bagian depan, kemudian ada 4 bangunan cottage di sisi kiri, masing-masing dua lantai. Kemudian ada bangunan berisi kamar hotel yang menyatu dengan hall dan restoran. Kami menginap di salah satu cottage di Sanggam. Ruangannya bersih dan nyaman sekali. Kamar mandi ada di lantai 1 dan 2, jadi tidak perlu rebutan kalau menginapnya ramai. Ada dua kamar tidur dilengkapi AC di lantai dua dengan masing-masing kamar memiliki dua tempat tidur. Karena jumlah kami ada 10 orang, jadi wajib memesan extra bed biar tidurnya bisa semena-mena. Sementara dua bapak supir menginap di kamar hotel di bangunan lain.

Kami merasa beruntung karena konsep cottage ini adalah home stay yang dilengkapi dapur dan kitchen set, jadi kami bisa memasak dan makan sepuasnya. Bekal makanan lauk yang sudah kami siapkan dari Medan seperti ayam goreng dan rendang daging sapi kami sajikan dengan nasi hangat dari rice cooker yang disediakan di cottage. Kami membeli buah, sayuran, dan rempah tambahan di kedai lokal. Nenas dan mangganya bikin nagih, manis sangat.

Udara segar, pemandangan indah, makanan enak dan lengkap membuat hari pertama kami liburan di Ambarita menjadi sangat berkesan. Kami memutuskan melepas penat seusai makan siang untuk mengumpulkan energi mengeksplor Pulau Samosir di malam hari. Hari itu adalah Sabtu, malam minggu, kita mau ke Tuk Tuk, salah satu spot wisata yang sering didatangi turis manca negara. Siapa tahu bisa kenalan sama bule-bule dan bisa mempraktekkan percakapan Bahasa Inggris yang sudah kami pelajari sambil duduk minum santai di salah satu café terkenal di sana.

Rencananya sih begitu. Kami keluar Hotel Sanggam pukul 5 sore menuju Tuk Tuk. Semua sudah mandi dan rapi buat malam mingguan. Pertama kami ngopi sore melihat sunset di sebuah kopisop terkenal di Tuk Tuk. Menikmati kopi mantab dan camilan enak. Setelah itu, kami lanjut eksplor Tuk Tuk lagi selepas maghrib dan sholat.

Ternyata oh ternyata, malam minggu di Tuk Tuk itu dimulai pukul 9 malam. Jadi ketika kami tiba di pusat keramaian Tuk Tuk, suasana jalanan terlihat sepi. Hanya ada beberapa turis asing yang makan malam di beberapa café. Oleh sebab rombongan ‘emak-emak’ ini sudah kelaparan dan tidak kuat begadang, jadilah kami balik kanan ke hotel saja. Makan malam nasi dengan lauk pauk yang ada disertai mie kuah pedas panas. Menu yang cocok sekali dengan udara dingin yang berangin. Setelah ‘isi bensin’ kami pun memutuskan untuk lanjut bersenang-senang.

Karoke adalah jalan ninja kami mengisi malam minggu di cottage. Pihak hotel rupanya juga menyediakan loud speaker untuk mengakomodir bakat jiwa-jiwa penyanyi terpendam yang datang ke hotelnya. Salah satu teman pun rupanya elok membawa dua mic berwarna kinclong dari rumahnya untuk melengkapi konser kami malam itu. Lagu dangdut menjadi musik paling laris dibawakan untuk dinyanyikan bersama-sama.

Makan malam yang mengenyangkan plus ‘konser’ dangdut organ tunggal, memecah malam di wilayah pegunungan dan danau berangin dingin nan kencang. Batasan ekspresi panggung seni dadakan kami malam itu hanya menunggu keluhan dari para tetangga atau pihak hotel. Karena tidak ada protes, musik pun lanjut hingga hampir tengah malam.

Bagi yang malu-malu joget atau angkat mic, mereka memutuskan main kartu domino sambil goyang-goyang kepala seiring musik di tempat duduknya saja. Saya sendiri lepas kendali malam itu. Lagu-lagu patah hati yang selama ini dinyanyikan di tempat tidur di dalam kamar terkunci nan gelap, malam itu diteriakkan dengan sepenuh hati. Teman-teman yang turut prihatin mendengar suara saya yang mirip-mirip Jack Marpaung di lapo tuak hanya bisa memaklumi. Diana mungkin sedang ‘nguras kendi batinnya yang penuh energi negatif’. Saya sih anteng saja, karena mayoritas dari mereka adalah teman-teman dekat yang sudah saya kenal lama. Lagu-lagu dari Ella (penyanyi Malaysia), ABBA, Mariah Carey, Celine Dion, hingga lagu India milik Mithun Cakraborthy pun keluar dari loud speaker. Semua dinyanyikan atas nama ekspresi jiwa. Lepas dan bebas. Saya sangat menikmati malam kebersamaan itu. Begitu juga teman-teman yang lain walaupun mata sudah 5 watt alias redup karena sudah lewat jam tidur biasanya.

Keesokan harinya, semua anggota rombongan tidak melewatkan momen melihat matahari terbit di tepi kolam renang di pinggir danau. Saya memanfaatkan momen di pukul 6 pagi itu dengan meditasi dan bersaat teduh. Mengucap doa panjang untuk diri dan keluarga, juga buat teman-teman saya. Di pagi itu juga, saya menyempatkan diri melakukan jalan kaki ‘nyeker’ di atas rerumputan tipis di halaman hotel yang luas, atau biasa disebut earthing atau kontak fisik langsung dengan tanah. Aktifitas ini dipercaya dapat menyeimbangkan energi kita dan meningkatkan kesehatan tubuh. Seru juga ‘nyeker’ begini selama 15 menitan tanpa malu dilihatin orang dan disangka ‘kurang waras’. Seperti yang saya alami jika dilakukan di lingkungan rumah saya di Medan.

Saya juga memetik daun pucuk merah dan bunga bougenvile yang tumbuh subur di halaman hotel untuk dibikin teh hangat. Menurut literatur kesehatan, manfaatnya buat relaksasi dan bagus untuk pencernaan. Beberapa teman yang lain juga mencoba menyeduh teh daun pucuk merah dan menyukai minuman hangat yang beraroma wangi tersebut sebagai teman santap pagi.

Nah, aktifitas fisik di pagi hari teman-teman lain tak kalah seru. Sebagian memilih berenang, sebagian lagi memasak sarapan dan beres-beres sebelum meninggalkan hotel. Kami sepakat merapikan cottage dan mengumpulkan sampah di satu kardus, berusaha meninggalkan tempat itu dengan bersih meskipun kami tahu di sini ada petugas kebersihannya. Jiwa ‘emak-emaknya’ terbawa sampai ke sini dong. Pukul 9 pagi, kami semua sarapan dan merapikan diri untuk melanjutkan perjalanan jelajah Pulau Samosir.

Namun sebelum berangkat, kami berkesempatan untuk bertemu dan ngobrol dengan salah satu pemilik sekaligus pengelola Sanggam Beach Hotel, Pak Tohap Sidabutar. Dari obrolan hangat itu kami mendapat pengetahuan tentang hotel dan bagaimana dinamika pariwisata di wilayah ini.

Menurut Pak Tohap, hotel ini dibangun oleh Bapak beliau, TTH Sidabutar, dan diresmikan pada 1997. Nama Sanggam sendiri diambil dari nama cucu tertua Pak Sidabutar, yang artinya pencapaian. Terdiri dari 51 kamar hotel, 4 cottage, dan 2 meeting room dengan kapasitas masing-masing 200 orang dan 30 orang. View pegunungan dan danau bisa dilihat dari setiap kamar. Konsep resort in garden seperti kata Pak Tohap menjadi masuk akal sebab bangunan hotel berada di dalam taman yang penuh dengan pepohonan dan bunga. Hal ini sinergi dengan lokasi hotel yang dekat dengan kebun raya Samosir.

Pak Tohap bilang, sejak pandemi Covid-19 pada 2020 lalu denyut pariwisata di Pulau Samosir turun drastis, termasuk bagi Sanggam. Namun perlahan kini pariwisata sudah kembali berdenyut dan Sanggam sendiri ikut berbenah untuk menyambut tamu-tamu kembali. Fasilitas hotel dan cottage ditambah, sehingga kenyaman pengunjung Sanggam semakin maksimal. Itu pula yang kami rasakan selama menginap di sini. Sanggam membuat liburan kami lebih santai karena fasilitasnya lengkap.

Menjelang siang, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan wisata ke Tomok. Manortor atau menari batak di kawasan atraksi patung Sigale-gale, menyusur museum Batak dan makam Raja Sidabutar, dan tak lupa belanja suvenir di Pasar Wisata Tomok. Bagi wisatawan luar Sumatera Utara, belanja oleh-oleh di sini seperti kewajiban. Sebab bakal jarang-jarang bisa berkunjung ke Danau Toba lagi dan belanja suvenir kayu dan kainnya yang bercorak batak toba khas daerah ini. Sekedar gantungan kunci pun bolehlah, yang penting ada buah tangan buat dibagikan kepada teman-teman dan keluarga.

Tak terasa waktu semakin siang. Kami pun makan dan sholat di sebuah rumah makan masakan Padang di Tomok. Bagi yang belum puas belanja dan foto-foto boleh lanjut, yang jelas saling mengingatkan bahwa kami wajib ngacir ke pelabuhan Ambarita sebelum pukul 4 sore, kembali menyeberang dengan ferry ke Ajibata untuk pulang ke Medan. Kalau dibilang belum puas ya pastilah belum puas. Masih banyak spot wisata yang belum sempat kami sambangi karena keterbatasan waktu. Sebab kawan-kawan dari luar kota harus mengejar pesawat di bandara Kuala Namu esok harinya.

Berbeda dari kapal penyeberangan ferry kemarin yang jenis Pora-pora, kali ini kami dapat kapal ferry Ihan Batak yang lebih besar dan menyuguhkan pertunjukan tor-tor muda-mudi di atas kapal untuk menghibur penumpang. Atraksi ini mendapat perhatian dari banyak penumpang kapal termasuk kami. Penumpang bisa ikut menari bersama para penari yang berkostum ulos dengan iringan musik tradisi batak sepanjang penyeberangan.

Saya sendiri yang sudah terbiasa dengan atraksi itu memilih duduk di anjungan kapal untuk menikmati pemandangan danau luas dan pegunungan sepanjang perjalanan menyeberang. Angin sepoi sore itu membuat momen bersantai saya menjadi lebih nikmat. Berharap dalam hati, ke depan Danau Toba bisa lebih baik lagi penataan bangunan dan konsep wisata yang didukung infrastruktur dan suprastruktur yang profesional. Saya bangga sebagai warga Sumatera Utara yang diberkahi Tuhan kekayaan alam begitu indah dan lengkap. Hanya saja kami belum bisa menata dan mengelolanya dengan maksimal. Masih harus terus belajar dan berbenah.

Keluhan pertama saya selama duduk di anjungan yang terhormat ini adalah andai udara pegunungan yang seharusnya segar ini tidak terkontaminasi dengan asap rokok dari penumpang lain. Saya hanya bisa berharap, ke depan semua alat transportasi di Indonesia ada larangan keras untuk merokok karena benar-benar mengganggu terutama bagi anak-anak, lansia, dan penumpang yang berusaha duduk tegar saat dia sedang sakit karena mabuk perjalanan. Kali ini biarlah saya mengalah tanpa protes, sebab momen syahdu ini terlalu mahal untuk diwarnai aksi unjuk rasa karena rokok.

Begitu tiba di Ajibata kami langsung cus ke Medan. Perjalanan kami lancar jaya, dan syukurnya keesokan hari keluhan beberapa dari kami hanya manggil tukang kusuk ke rumah karena badan pegel-pegel. Tidak ada barang tertinggal atau masalah lainnya. Yang dari luar Medan, kembali ke kota masing-masing. Yang tinggal di Medan, langsung balik ke meja redaksi kantor masing-masing. Di benak masing-masing sudah tak sabar untuk posting ke media sosial kami soal keseruan women escape kami kemarin. Asyik dan menyenangkan.